Jatuh pada lubang yang sama dua kali adalah suatu kebodohan.
Walaupun kelihatan sederhana membakar sampah untuk mengatasi masalah sampah
kota dengan incinerator tetapi pada
prakteknya malah banyak menimbulkan masalah lingkungan. Karena kondisi
operasinya hanya berkisar 600-800 C, maka akan dihasilkan gas dioksin yang
sangat beracun. Sedangkan apabila
‘ngotot’ dioperasikan, maka treatment pada gas buang akan menjadi wajib
diupayakan. Pada kenyataanya saat hampir semua incinerator di sejumlah
pengolahan sampah kota tidak dioperasikan akibat buruknya dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Paradigma saat ini bahwa pengolahan sampah kota harus
menguntungkan harus direvisi. Komposisi sampah kota yang sangat kompleks,
sehingga menyulitkan untuk pengolahan selanjutnya. Pemilahan adalah hal wajib
dilakukan jika ingin membuat produk bernilai jual dan ini jelas tidak
sederhana. Produk kompos maupun biogas
dan pupuk cair tentu tidak mampu meng-cover cost produksi pembuatannya.
Sehingga paradigma penanganan sampah kota yang relevan saat ini adalah problem
solving yakni mengatasi masalah sampah itu sendiri, karena apabila tidak
diselesaiakan akan menimbulkan dampak lingkungan yang lebih besar dan akibatnya
akan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan.
Idealnya sampah telah dipilah sewaktu membuangnya di tempat
sampah sebelum diangkut dibawa ke tempat pembuangan akhir sehingga memudahkan
untuk proses pengolahannya. Tetapi hal tersebut sulit dilakukan. Perlu edukasi
sangat lama untuk mewujudkannya, prakteknya dibutuhkan umumnya akan lebih dari
20 tahun. Sehingga kompromi sesuai cara diatas perlu dilakukan untuk mengatasi
masalah sampah hari ini.
Penentuan tipping fee yang dibayarkan pemda ke pengelola
sampah haruslah wajar sehingga akan
banyak pihak pengolah sampah kota yang berminat. Pengolahan sampah yang efektif
dan efisien akan meminimalisir dampak lingkungan dan memberi manfaat untuk
pertanian dan energi. Solusi yang tidak muluk-muluk tetapi applicable itulah
yang dicari saat ini.