Contoh bahan bakar minyak residue |
Minggu, 30 April 2017
PAO untuk Produksi Bio-bunker oil
Penggunaan energi terbarukan telah merambah ke berbagai lini, meskipun porsinya belum besar, tidak terkecuali pada bahan bakar kapal. Penggunaan energi terbarukan ini dilatar belakangi oleh masalah lingkungan, perubahan iklim dan menipisnya cadangan bahan bakar fossil. Pada mesin diesel perkapalan dengan putaran rendah dan tidak terlalu sensitif terhadap kualitas bahan bakar, maka jenis minyak residu seperti minyak bakar digunakan sebagai bahan bakarnya. Kapal dengan mesin diesel putaran rendah biasa digunakan untuk kapal-kapal besar seperti general cargo, tanker, bulker dan kapal kontainer. Kapal-kapal tersebut pada umumnya memiliki berat mulai 2.000 dwt hingga 500.000 dwt dengan putaran mesin 60-120 rpm. Jenis mesin kapal tersebut cocok dengan bahan bakar minyak residu karena konsumsi bahan bakar yang tinggi dan menghabiskan biaya operasi dalam porsinya besar untuk biaya bahan bakar sehingga cenderung memilih bahan bakar yang paling murah.
Minyak bakar sendiri memiliki sifat lebih kental (viscous) dibanding minyak solar dan minyak diesel, yakni bisa mencapai 380 cSt(mm2/detik). Selain itu juga memiliki titik didih lebih tinggi dibanding kedua minyak tersebut. Minyak bakar ini merupakan fraksi dasar atau residue yang berwarna gelap dan cenderung berwarna hitam. Mesin diesel kecepatan rendah menggunakan minyak bakar tersebut atau jenis heavy fuel oil (HFO) dengan kekentalan atau viskositas hingga mencapai 700 cSt. Di pelabuhan-pelabuhan tertentu kemungkinan tidak terdapat bahan bakar dengan spesifikasi yang diharapkan oleh operator kapal maka bisa dipahami jika di atas kapal bahan bakar tersebut harus tetap dilakukan fuel pre-treatment. Sehingga para operator kapal dan pemasok bahan bakar dituntut untuk bekerja sama dengan baik agar bahan-bahan bakar tersebut dapat di treatment terlebih dahulu sebelum digunakan di dalam mesin agar performance mesin tetap optimal. Sebuah kapal besar bisa membutuhkan minyak bunker atau bahan bakar yang berupa minyak residu hingga mencapai 100 kiloliter atau mendekati 100 ton.
Penggunaan minyak nabati atau minyak tumbuh-tumbuhan mulai banyak digunakan untuk produksi minyak bunker. Hal ini sejalan dengan program penggunaan energi terbarukan yang mulai marak di berbagai sektor. Minyak nabati atau minyak tumbuh-tumbuhan tersebut juga termasuk kelompok residue atau sisa. PAO (Palm acid oil) atau istilahnya Miko (minyak kotor) dengan kadar FFA (Free Fatti Acid) lebih dari 50% bisa digunakan sebagai minyak bunker tersebut. Tingkat keasaman yang tinggi yang terindikasi dari tingginya prosentase FFA atau asam lemak bebas tersebut menyebabkan penggunaannya dalam minyak bunker tidak mencapai porsi besar. Blending atau pencampuran dengan minyak lain dilakukan untuk mencapai syarat atau spesifikasi teknis minyak bunker. PAO atau Miko tersebut adalah minyak limbah pabrik sawit atau pabrik CPO yang banyak terdapat dalam kolam-kolam buangan atau unit pengolah limbah mereka. Sebagai produsen CPO terbesar di dunia saat Indonesia memiliki ribuan pabrik sawit sehingga potensi atau jumlah PAO yang dihasilkan juga sangat besar. Walaupun semakin efisien pabrik sawit maka jumlah PAO atau minyak kotor yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena tingginya efisiensi recovery minyak dalam pabrik sawit tersebut.
Sebelum digunakan untuk minyak bunker, PAO atau Miko tersebut harus di treatment atau diolah terlebih dahulu. Pengolahan yang dilakukan dengan mendidihkannya dan menyaring PAO tersebut dengan tujuan mengurangi kadar air (moisture content) dan pengotor (impurities). Pengolahan PAO yang efisien juga akan mengurangi biaya produksi. Target kadar air (moisture content) dan pengotor (impurities) pada PAO yang sudah diolah (treated PAO) yakni biasa disyaratkan dibawah 2%. Pengiriman atau export PAO tersebut ke negara tujuan untuk kapasitas kecil biasa menggunakan flexytank yang diletakkan di dalam kontainer.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar