Saat ini ada sekitar 1.100 pabrik kelapa sawit di kawasan
Asia Tenggara, dari jumlah tersebut Indonesia memiliki kurang lebih 600 pabrik
sawit dan Malaysia sekitar 400 pabrik sawit. Saat ini juga Indonesia adalah
produsen minyak kelapa sawit atau CPO (crude palm oil) no. 1 di dunia dengan
produksi lebih dari 23 juta ton/tahun.
Tanaman kelapa sawit yang awalnya hanya empat pohon pada tahun 1848 di Indonesia, saat ini telah
ditanam mencapai sekitar 9 juta hektar. Sedangkan di Malaysia luas
perkebunan sawit sekitar 5 juta hektar.
Kapasitas pabrik sawit di Asia Tenggara beroperasi antara 45
MT TBS/jam – 90 MT TBS/jam, atau secara umum bisa diambil rata-rata bahwa pabrik
sawit dirancang pada 60 MT TBS/jam atau sekitar 25.000 MT per bulan atau
sekitar 300.000 MT per tahun. Tercatat Malaysia mampu memproduksi lebih dari
100 juta MT TBS (tandan buah segar) pada tahun 2014. Setiap ton TBS akan
menghasilkan kisaran 120-200 kg minyak kelapa sawit (CPO), 230-250 kg tankos
(tandan kosong kelapa sawit), 130-150
serat/sabut buah, 60-65 kg cangkang (shell), 55-60 kg kernel dan 0,7 m3 limbah
cair (POME). Limbah cair pabrik sawit tersebut dihasilkan dari proses
sterilisasi TBS, proses penjernihan minyak sawit mentah atau crude palm oil
(CPO), yaitu pemerasan, memisahkan dan penjernihan, dan proses pemerasan
tankos. Saat ini ada lebih dari 50 juta ton air limbah pabrik sawit (POME) ini
setiap tahunnya dengan potensi listrik yang bisa dibangkitkan dari biogas lebih
dari 1200 MW. Porsi energi terbarukan termasuk didalamnya biogas dan juga biomasa sebagai
sumber energi dalam proyeksi national energy mix Indonesia sebenarnya juga tidak terlalu
besar yakni 17%, sedangkan dalam level international (global) adalah 13%. Walaupun
porsinya belum besar tetapi karena seiring kesadaran masalah lingkungan
terutama masalah perubahan iklim dan pemanasan global karena konsentrasi CO2 di
atmosfer telah melebihi 400 ppm, maka seiring waktu biogas semakin diakselerasi
dan ditingkatkan produksinya.
Sebuah
peraturan baru di industri kelapa sawit Malaysia, yang menetapkan semua pabrik kelapa sawit harus memiliki fasilitas penangkap
methana paling lambat tahun 2020. Pabrik kelapa sawit tanpa solusi masalah
metana sampai tahun 2020 akan kehilangan ijin mereka. Salah satu solusi masalah
itu adalah menutup kolam limbah sawit dan biogas yang dihasilkan lalu dibakar
di flare, tentu bukan solusi terbaik karena hanya menghabiskan biaya terutama
karena alasan mempertahankan ijin produksi CPO. Pelepasan metana dari sistem
pengolahan POME menyumbang hingga 70% dari total emisi gas rumah kaca dalam
keseluruhan proses produksi CPO dan
pemanfaatan sebagai bahan baku biogas sebagai sumber panas dan/atau listrik adalah pilihan terbaik, karena selain
manfaat lingkungan juga manfaat atau keuntungan secara ekonomi. Sedangkan di
Indonesia pada tahun 2014, Peraturan Menteri Nomor 27/2014 tentang
feed-in-tariff untuk energi terbarukan dari biomasa dan biogas mendorong minat
penjualan listrik dari konversi biogas POME menjadi energi ke jaringan PLN.
Jual beli listrik yang dapat dilakukan antara pemilik pabrik sawit dengan PLN
yakni melalui perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) atau
perjanjian penjualan kelebihan kelebihan daya listrik (excess power). Adanya
Peraturan Menteri tersebut telah turut membantu mendorong dan mengakselerasi
pemanfaatan POME sebagai sumber energi listrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar