Jumat, 28 Juni 2024

Projections for Indonesia's Future Waste Management: Production of RDF and Biochar Enriched Compost

Photo taken from here

The MSW problem is a concern in a number of areas currently. This is because MSW, apart from being a serious environmental problem, also has an impact on social problems. The public is starting to become more aware of this MSW problem, especially for urban communities who no longer have land to pile up or burn their MSW and what's more, final disposal sites are no longer able to accommodate the MSW produced by these communities. Flooding, groundwater pollution, air pollution are some of these environmental problems which, if not addressed, will cause a number of serious environmental problems. Public awareness regarding waste should be getting better day by day, and various efforts should be made to overcome it.

One of the composting unit in Indonesia

Currently the central government and regional governments are working hard to overcome the waste problem namely this MSW. Despite hard efforts, generally only a small portion of the MSW can be handled and most of it is still accumulating and accumulating so that it continues to pile up. An example is the current MSW problem in Jakarta, the capital of Indonesia namely with an average daily waste volume of 7,500 tons/day, only around 1,000 tons per day can be processed. With the RDF production unit at Bantar Gebang TPST, with raw materials of 2,000 tons of waste per day originating from 1,000 tons of new MSW and 1,000 tons of old waste (landfill mining), approximately 700 tons/day of RDF is produced. So with only 1,000 tons/day of new waste that can be processed, that means only 13% of the total daily waste volume. Meanwhile, conditions in a number of regions in Indonesia are also almost the same.


Future MSW processing must be able to process the 100% of MSW or have zero waste. Apart from that, the MSW processing product must also have useful and economic value. One of them is large capacity RDF and compost production. Almost all organic waste can be composted, while non-organic waste, especially plastic, can be made into RDF. Other waste such as iron, glass, ceramics and metals are separated first so that it does not interfere with the RDF and compost production process. RDF is commonly used as an alternative fuel, especially in cement plants. However, with high chlorine content, the use of RDF in cement plants needs to be limited.

Sometimes the distance between RDF production and the cement plant makes transportation costs expensive and RDF products become uncompetitive. This means that RDF needs to be compressed into RDF pellets. By increasing the density of RDF into pellets, apart from saving transportation costs, it will also make handling, storage and use easier. Meanwhile, biochar can be added to compost to improve its quality. Biochar is added during the composting process and later there will be more nutrients contained in the compost. Biochar with its micro pores will be used as a place to store these nutrients. Apart from that, biochar is used as a carbon sink / carbon sequestration and can survive in the soil for hundreds or even thousands of years. This also has the potential to provide additional income from carbon credits. Biochar production by pyrolysis will also produce heat energy which can be used for drying waste in RDF production and pyrolysis of organic materials.   

Jumat, 12 Januari 2024

Pellet Plastik Solusi Limbah Plastik

Plastik adalah limbah yang sulit terurai bahkan butuh hingga ratusan tahun hingga bisa terdekomposisi. Idealnya memang membatasi produksi dan penggunaan plastik sehingga tidak menghasilkan limbah plastik tersebut dan juga mengolah limbah plastik yang ada menjadi bahan kimia, atau bahan bakar lagi. Polusi limbah plastik tidak hanya di daratan / tanah dan juga perairan terutama sungai dan laut. Pada aspek mengatasi atau mengolah limbah plastik, maka limbah plastik perlu didekomposisi lagi sesuai tujuan yang ingin dicapai. Sejumlah proses teknologi thermal seperti pirolisis bisa digunakan untuk proses dekomposisi tersebut.  

Pencemaran limbah plastik yang terjadi di banyak tempat tersebut perlu segera diatasi. Sentra-sentra pengolahan limbah plastik perlu juga dibuat dibanyak tempat. Dan karena begitu merajalelanya limbah plastik tersebut maka bisa saja perlu waktu tertentu dari sumber limbah plastik menuju pabrik pengolahan tersebut. Hal tersebut tentu menjadi masalah tersendiri karena bulk density plastik yang rendah apalagi juga kondisinya kotor sehingga mahal biaya transportasinya untuk mencapai fasilitas pengolahan tersebut. Untuk itulah perlu pengolahan awal atau produk antara untuk menghemat transportasi tersebut. Pengolahan awal tersebut adalah pemadatan (densifikasi) menjadi pellet plastik. 

Dengan dibuat pellet, maka selain menghemat biaya transportasi juga memudahkan handling dan pengolahan selanjutnya. Sebelum dipelletkan limbah plastik tersebut perlu dibersihkan dengan dicuci, selanjutnya dikecilkan ukurannya dan dikeringkan. Semua proses tersebut harus berjalan kontinyu sehingga kapasitas produksi pellet plastik cukup besar. Proses pengecilan ukuran (size reduction) dengan shredder juga akan memeras air dari limbah plastik tersebut. Ukuran partikel plastik dari shredder perlu dibuat cukup kecil atau sekitar 1 cm untuk bisa dipelletkan dengan baik. Ukuran partikel yang kecil juga akan memudahkan proses pengeringan pada mesin pengering. 

Jika suatu kota menghasilkan limbah ribuan ton setiap harinya maka demikian juga volume limbah plastik tersebut. Apabila tidak bisa mengatasi masalah limbah dan khususnya plastik maka polusi lingkungan akan semakin buruk. Dengan besarnya volume limbah tersebut maka upaya pengolahanya juga harus berkapasitas besar sehingga meminimalisir polusi tersebut dan semakin berkualitas lingkungan hidup yang terbentuk.   

Senin, 29 Maret 2021

Gipsum Alami dan Gipsum Sintetis

 

Gipsum pada dasarnya dibangi dua yakni gipsum alami dan gipsum buatan atau gipsum sintetis. Gipsum alami didapat dari alam dengan cara ditambang sedangkan gipsum sintetis dibuat dengan proses kimia tertentu. Di Indonesia gypsum sangat mudah ditemui di daerah Kalimantan dan Jawa Barat. Senyawa gipsum sendiri adalah mineral dengan kadar kalsium yang mendominasi, atau juga merupakan hidrat kalsium sulfat dengan rumus kimia, CaSO4.2H2O.Pada abad ke-19, gipsum juga dikenal sebagai kapur sulfat atau sulfat kapur . Tidak ada perbedaan rumus kimia baik untuk gipsum alami maupun gipsum sintetis, yang merupakan mineral sulfat lunak yang terdiri dari kalsium sulfat dihidrat seperti diatas. Selain air dan oksigen, kandungan utama gipsum adalah kalsium dan sulfur. Kalsium sendiri merupakan unsur yang sangat banyak terdapat di alam seperti bukit kapur, batu kapur, kerang dan karang di laut, cangkang telur hingga tulang yang membentuk rangka kita. Sedangkan belerang atau sulfur adalah unsur non-logam yang dalam bentuk padatnya berwarna kuning, rapuh, tidak berasa, dan tidak berbau. Dan untuk memperolehnya dari alam dapat dilakukan dengan dua cara yakni cara Sisila (untuk memperoleh belerang yang ada di permukaan tanah) dan cara Frasch (untuk memperoleh belerang yang ada dibawah tanah). Penggunaan belerang ini dalam kehidupan manusia sangat luas dan sebagian besar benda-benda yang digunakan manusia saat ini baik langsung ataupun tidak langsung menggunakannya. Belerang atau khususnya yang telah diolah menjadi asam sulfat (H2SO4) digunakan pada permurnian minyak bumi, pembuatan baja, pembuatan kertas, benang, plastik, bahan peledak dan ribuan bahan kimia lainnya. 

Kata gypsum berasal dari kata Yunani gypsos atau "gips". Karena tambang di distrik Montmartre Paris telah lama melengkapi gipsum bakar (gipsum terkalsinasi) yang digunakan untuk berbagai keperluan, gips kering ini kemudian dikenal sebagai plester Paris . Setelah menambahkan air, setelah beberapa puluh menit, plester Paris menjadi gipsum biasa (dihidrat) lagi, menyebabkan bahan mengeras atau "mengeras" dengan cara yang berguna untuk pengecoran dan konstruksi. Gipsum sebagian besar digunakan sebagai bahan bangunan, plaster paris, bahan dasar untuk pembuatan kapur, bedak, untuk cetakan alat keramik, tuangan logam, gigi dan sebagainya. Jumlah tersebut meliputi 72% dari seluruh volume perdagangan. Gipsum sebagai perekat mineral mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan dengan perekat organic karena tidak menimbulkan pencemaran udara, murah, tahan api, tahan deteriorasi oleh faktor biologis dan tahat terhadap zat kimia. Saat ini gipsum sebagai bahan bangunan diantaranya digunakan untuk membuat papan gypsum dan propil pengganti triplek dari kayu. Papan gypsum propil adalah salah satu produk jadi setelah material gypsum diolah melalui proses pabrikasi menjadi tepung. Papan gypsum propil digunakan sebagai salah satu elemen dari dinding partisi dan plafon. Pada dasarnya penggunaan gypsum dapat digolongkan menjadi dua macam seperti berikut :  pertama, yang belum mengalami kalsinasi dipergunakan dalam pembuatan semen Portland dan sebagai pupuk. Jenis ini meliputi 28% dari seluruh volume perdagangan. Dan yang kedua, yakni yang mengalami proses kalsinasi meliputi 72% dari seluruh volume perdagangan dengan rincian seperti di atas.  

Gipsum sintetis terutama diproduksi dari proses flue-gas desulphurization (FGD) atau disebut FGD gypsum pada sejumlah PLTU batubara, untuk lebih detail baca disini. Penggunaannya dapat bergantian dengan gipsum alami pada sejumlah aplikasi. Alasan utama penggunaan FGD gypsum adalah mengurangi penggunaan energi dan air, menghindari landfill, dan menjaga sumber daya alam. Industri gipsum tersebut membeli FGD gypsum dari PLTU-PLTU batubara yang melakukan proses pencucian dan pemurnian untuk membuat bahan FGD menjadi produk FGD gypsum. Saat ini hampir setengah dari gypsum yang digunakan untuk papan gipsum di Amerika Serikat adalah gipsum sintetis berupa FGD gypsum ini. Produk-produk panel gipsum seperti papan dinding (wallboard) atau drywall, memainkan peran penting tidak hanya penampilan pada bangunan tetapi juga strukturnya khususnya pada kondisi ekstrim berupa api. Mekanisme cukup sederhana, gipsum adalah senyawa inert dengan kandungan 21 persen beratnya berikatan kimia dengan air. Baik gipsum alami maupun gipsum sistetis memiliki karakteristik yang sama, sehingga membuat bangunan memiliki ketahanan terhadap api. Gipsum sintetis juga dihasilkan dari lapisan endapan pada membran air payau (brackish water), fenomena ini disebut pengerakan (scaling) mineral garam. Proses ini terjadi pada desalinasi air payau dengan konsentrasi kalsium dan sulfat yang tinggi. Pengerakan atau scaling ini akan memperpendek umur pakai membran sehingga menurunkan produktivitasnya. Hal ini menjadi hambatan utama untuk proses desalinasi air payau tersebut, seperti pada reverse osmosis atau nanofiltration. 

Gipsum sintetis lainnya adalah fosfogipsum, produk ini produk sampingan dari produksi pupuk dari batuan fosfat.  Kandungan utama fosfogipsum terdiri dari gipsum (CaSO4 · 2H2O). Tetapi meskipun gypsum merupakan bahan yang banyak digunakan dalam industri konstruksi , fosfogypsum biasanya tidak digunakan, tetapi disimpan tanpa batas waktu karena sifat radioaktivitas walaupun lemah. Saat ini diperkirakan sekitar 100 juta hingga 280 juta ton diperkirakan diproduksi setiap tahun sebagai konsekuensi dari pengolahan batuan fosfat untuk produksi pupuk fosfat. Fosfor sendiri adalah unsur non-logam yang reaktif dan banyak digunakan dalam kegiatan industri. Di alam fosfor tidak terdapat dalam keadaan bebas tetapi umumnya dalam bentuk senyawa fosfat, seperti dalam batuan fosfat dan apatit (bijih fosfat). Selain itu fosfor juga terdapat dalam bentuk kalsium fosfat (pada tulang dan gigi) serta dalam tanah yang subur dan di dalam air. Phosphogypsum adalah produk samping dari produksi asam fosfat dengan mengolah bijih fosfat (apatit) dengan asam sulfat. 

Fosfogipsum bersifat radioaktif karena adanya uranium dan torium yang terjadi secara alami , dan isotop anak mereka radium, radon, polonium, dan lain-lain. Fosfat yang disimpan di laut biasanya memiliki tingkat radioaktivitas yang lebih tinggi daripada endapan fosfat beku, karena uranium terdapat di air laut. Komponen fosfogypsum lainnya adalah Cd (5-28 ppm), fluoride (ca 1%), dan silika.  Saat ini di Amerika Serikat saja ada sekitar 1 miliar ton fosfogypsum yang ditumpuk di 25 tumpukan di Florida (22 berada di Florida tengah) dan sekitar 30 juta ton baru dihasilkan setiap tahun.

Rabu, 10 Maret 2021

Utility Business Berbasis Bahan Bakar Biomasa

Suatu pabrik atau industri pengolahan (process industry) selalu membutuhkan utilitas untuk menjalankan industri tersebut. Utilitas tersebut antara lain listrik, air, steam/kukus, dan gas. Idealnya memang industri tersebut bisa menyediakan sendiri kebutuhan utilitas tersebut sehingga tidak perlu membeli atau dipasok oleh pihak luar. Tetapi faktanya memang sebagian industri tidak bisa menyediakan sendiri kebutuhan untuk semua utilitas tersebut. Pabrik sawit yang memproduksi CPO (crude palm oil) adalah sedikit diantara industri yang bisa menyediakan hampir semua utilitasnya. Dengan lokasi yang hampir semua berada di lokasi pedalaman maka pabrik sawit memproduksi sendiri kebutuhan listrik dan steam/kukus untuk proses produksi CPO tersebut.

Daya dorong untuk bisa semakin mudah dalam proses industrinya dan juga citra industri yang ramah lingkungan membuat sejumlah bisnis utilitas (utility business) berdiri dan mengisi pangsa pasar ini. Bahan bakar biomasa dipilih karena merupakan energi terbarukan dan bahan bakar karbon netral. Bahan bakar biomasa tersebut bisa berupa limbah-limbah pertanian dan perkebunan seperti sekam padi, cangkang sawit, tongkol jagung dan sebagainya. Bisa juga bahan bakar biomasa tersebut berasal dari limbah-limbah kayu seperti sawdust atau potongan-potongan kayu. Limbah kayu tersebut juga diolah lanjut menjadi wood chip, wood pellet dan wood briquette, demikian juga limbah pertanian bisa dipadatkan menjadi pellet atau briquette. Bahan bakar biomasa tersebut digunakan untuk produksi steam/kukus dan listrik sebagai produk utilitas yang kemudian disuplai ke sejumlah industri. 

Untuk produksi steam/kukus dan listrik berbahan bakar biomasa tersebut, boiler adalah alat yang paling umum digunakan. Ketika digunakan untuk produksi listrik maka steam/kukus dari boiler (superheated steam) tersebut dialirkan ke steam turbine selanjutnya energi mekanik steam turbine akan menggerakkan generator sehingga terjadi produksi listrik. Hal tersebut membuat urgensi penggunaan boiler biomasa menjadi tinggi, untuk lebih detail baca disini. Hal tersebut juga membuat perusahaan utilitas juga harus menggunakan boiler yang berkualitas tinggi sehingga output berupa stea,/kukus atau listrik bisa memenuhi sesuai kriteria yang dipersyaratkan. Bisa saja perusahaan-perusahaan tersebut bekerjasama dengan perusahaan boiler yang berpengalaman. Industri pengguna produk utilitas tersebut bisa lebih mudah menjalankan produksinya termasuk untuk meningkatkan kapasitas produksi bahkan pengembangan produk turunan baru. Menyiapkan utilitas seperti steam dan listrik yang di dalamnya ada unit pengolahan air (water treatment), perawatan boiler, turbine dan sebagainya kadang memang merepotkan bagi sejumlah industri. 

Selain pemilihan boiler yang sesuai dengan kebutuhan baik untuk suplai steam/kukus, panas atau listrik sejumlah prosedur operasi dan maintenance yang memadai perlu dilakukan untuk menjamin aspek safety, reliability, and efficiency sehingga memperlama masa pakai (lifetime) boiler tersebut. Kesalahan operasi boiler bisa memotong efisiensi 20% dan memicu terjadinya bahaya. Kebocoran pipa boiler adalah salah satu permasalahan besar yang sering ditemui, dan penyebabnya bisa bermacam-macam seperti cacat pengelasan, overheating, creep, stress corrosion, waterside corrosion, fireside erosion, hydrogen atau age embrittlement, thermal shock, dan tentu saja operasional yang sesuai prosedur serta kurangnya maintenance. Dan untungnya biasanya kesalahan boiler dari pabrikan atau produsen kalau ada biasanya tidak fatal seperti minor errors. 

Kunci untuk memaksimalkan safety dan efisiensi adalah mengikuti prosedur operasional dan perawatan boiler tersebut dari pembuat atau pabrikannya. Hal tersebut termasuk skedul untuk predictive dan preventive maintenance yang tergantung pada biaya perbaikan dan dampak downtime operasional boiler tersebut. Hal lain yang perlu dilakukan adalah boiler juga perlu regular testing, analysis dan tuning untuk menghadapi degradasi gradual alat tersebut seperti masalah soot corrosion yang berdampak pada efisiensi dan output. Masalah tersebut akan menjadi semakin penting untuk industri-industri yang menggunakan untuk respon cepat untuk kebutuhan puncak listrik  atau penyesuaian kebutuhan output tergantung kebutuhan yang bervariasi untuk process steam. 

Selain dengan boiler dan steam turbine, produksi listrik juga bisa dilakukan proses thermal lainnya seperti pembakaran, gasifikasi, dan pirolisis. Gasifikasi dengan memaksimalkan produk gas (syngas) yang selanjutnya untuk bahan bakar gas engine paling populer di antara ketiga proses thermal tersebut. Pirolisis modern yang menghasilkan gas (syngas) juga bisa menghasilkan listrik seperti halnya gasifikasi. Sedangkan pada pembakaran, panasnya dimanfaatkan untuk menggerakkan heat engine seperti stirling engine, yang selanjutnya energi mekaniknya untuk menggerakkan generator. Secara umum produksi listrik dengan proses thermal di atas memang kurang populer dibandingkan dengan penggunaan boiler. Hal tersebut bisa jadi karena penggunaan boiler telah familiar, selain listrik juga bisa dihasilkan steam/kukus, banyak perusahaan produsen boiler dan investasi peralatan lebih murah.


Ada beberapa model kerjasama yang bisa dilakukan antara pihak penyedia utlitas dan pengguna utilitas tersebut. BOO (Build Own Operate) adalah salah satu model kerjasama untuk penyediaan utilitas tersebut. Dengan BOO tersebut perusahaan penyedia utilitas tersebut akan membangun fasilitas lalu sebagai pemiliknya dan mengoperasikannya untuk menyuplai kebutuhan utilitas suatu industri. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran lingkungan terhadap perubahan iklim dan pemanasan global maka penggunaan bahan bakar biomasa diprediksi akan terus meningkat. Walaupun tidak secara langsung menggunakan bahan bakar biomasa tersebut, industri pengguna utilitas tersebut juga mendapat citra positif sebagai industri yang ramah lingkungan. Selain masalah utilitas di atas, sejumlah industri juga mengalami banyak kesulitan dalam pengolahan limbahnya, hal ini bisa saja menjadi peluang bisnis yakni berupa berdirinya perusahaan pengolah limbah industri. Bersambung.InsyaAllah. 

Kamis, 16 Juli 2020

FGD Gypsum


PLTU batubara adalah salah satu jenis instalasi pembangkit listrik dimana tenaga listrik didapat dari mesin turbin yang diputar oleh uap (steam turbine) yang dihasilkan dari pemanasan menggunakan batubara. PLTU batubara merupakan sumber utama dari listrik dunia saat ini. Sekitar 60% listrik dunia saat ini bergantung pada batubara, hal ini dikarenakan PLTU batubara bisa menyediakan listrik dengan harga murah. Kelemahan utama PLTU batubara adalah pencemaran emisi karbon sangat tinggi, paling tinggi dibanding bahan bakar lain. Lebih jauh batubara yang merupakan bahan bakar fossil juga merupakan carbon positive, sedangkan biomasa merupakan energi terbarukan dan carbon neutral. 

Pada PLTU batubara sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, maka telah dikembangkan sistem peralatan yang mampu memisahkan gas-gas polutan seperti SOx dan NOx dalam gas buang dari pembakaran batubara. Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam fasilitas flue gas desulfurization (FGD) dan kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas SO3 tersebut didinginkan dengan air, H2O sehingga terjadi reaksi dengan air tersebut dan membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat tersebut selanjutnya direaksikan dengan batu kapur, Ca(OH)2 sehingga didapat pemisahan berupa gipsum, CaSO4·2H2O atau kalsium sulfat. Selanjutnya gas buang yang keluar dari unit FGD tersebut sudah sekitar 90% terbebas dari senyawa oksida sulfur (SOx) sehingga bisa diterima ambang emisi SOx yang dipersyaratkan. 

Sebagian besar sistem FGD menggunakan dua tahap: pertama untuk menghilangkan abu terbang (fly ash) dan yang kedua, untuk menghilangkan SO2. Upaya telah dilakukan untuk menghilangkan fly ash dan SO2 dalam satu kolom scrubber. Namun, sistem ini mengalami masalah perawatan parah dan efisiensi pemisahan SO2 yang rendah. Dalam sistem wet scrubber, gas buang biasanya pertama melewati melalui alat pemisahan fly ash, baik pengendap elektrostatik atau baghouse, dan kemudian ke absorber SO2. 

Hasil samping berupa gipsum sintetis tersebut memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Penggunaan FGD dalam unit pembangkit listrik batubara selain mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam yakni senyawa oksida sulfur (SOx), hasil samping berupa gipsum yang dihasilkan juga memiliki nilai ekonomi.  FGD selain umum digunakan pada pltu batubara juga digunakan pada incinerator limbah untuk maksud yang sama. Pada Juni 1973, ada 42 unit FGD yang beroperasi, 36 di Jepang dan 6 di Amerika Serikat, dengan kapasitas mulai dari 5 MW hingga 250 MW. Pada sekitar tahun 1999 dan 2000, unit FGD sedang digunakan di 27 negara, dan ada 678 unit FGD yang beroperasi pada kapasitas total pembangkit listrik sekitar 229 gigawatt. Sekitar 45% kapasitas FGD berada di AS, 24% di Jerman, 11% di Jepang, dan 20% di berbagai negara lain. Sekitar 79% dari unit, mewakili sekitar 199 gigawatt kapasitas, menggunakan kapur basah. Sekitar 18% (atau 25 gigawatt) menggunakan spray-dry scrubbers atau sorbent injection systems.